Jumat, 24 Februari 2017

Bukan Tunangan, Tapi Khitbah...

Tunangan?? Bukan,,,aku mau meng-khitbah kamu.
Dalam syariat Islam, proses menuju gerbang pernikahan adalah dengan khithbah. Makna khithbah atau meminang adalah meminta seorang wanita untuk dinikahi kepada walinya dengan cara yang dikenal di tengah masyarakat. Hakikatnya, ketika berniat untuk menikahi seorang gadis, maka gadis itu tergantung dari ayahnya. Ayahnyalah yang menerima pinangan itu atau tidak, dan ayahnya pula yang nantinya akan menikahkan anak gadisnya itu dengan calon suaminya. Hak untuk menikahkan anak gadis terdapat pada ayahnya, sehingga tidak dibenarkan seorang gadis menerima ajakan menikah dari siapapun tanpa sepengetahuan ayahnya..
Khitbah adalah muqaddimah dari sebuah pernikahan. Sebuah tindakan yang telah disyari’atkan Allah SWT sebelum dilakukan pengikatan aqad nikah agar masing-masing pihak bisa mengenal satu sama lain. Dengan berbagai pertimbangan, Islam menganjurkan untuk merahasiakan peminangan dan hanya boleh dibicarakan dalam batas keluarga saja, tanpa mengadakan upacara tabuhan genderang dan lain-lain dalam bentuk keramaian. Dari Amir bin Abdilah bin az-Zubair dari ayahnya radhiyallāhu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Umumkanlah pernikahan,” (HR. Ahmad).
Meminang itu akan mengungkap keadaan, sikap wanita itu dan keluarganya. Dimana kecocokan dua unsur ini dituntut sebelum akad nikah, dan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang menikahi seorang wanita kecuali dengan izin wanita tersebut, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata: telah bersabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak dinikahi seorang janda kecuali sampai dia minta dan tidak dinikahi seorang gadis sampai dia mengijinkan (sesuai kemauannya), Mereka bertanya “Ya Rasulullah, bagaimana ijinnya ? Beliau menjawab, Jika dia diam"..

"Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya” (QS Al-Baqarah : 232)
Jadi nanti klo aku dateng nemuin walimu, jawabmu cukup "diam" atau menganggukkan kepala saja ya.. hhehhee

Pinangan (meminang/melamar) atau khitbah dalam bahasa Arab, merupakan pintu gerbang menuju pernikahan.Khitbah menurut bahasa, adat dan syara, bukanlah perkawinan. Ia hanya merupakan MUKADDIMAH (pendahuluan) bagi  perkawinan  dan pengantar  kesana. Khitbah merupakan proses meminta persetujuan pihak wanita untuk menjadi istri dari pihak lelaki atau permohonan laki-laki terhadap wanita untuk dijadikan bakal/calon istri. (lihat Al Mausu'ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah, 19/190)
Pinangan yang kemudian berlanjut dangan “pertunangan” yang kita temukan dalam masyarakat saat ini hanyalah merupakan budaya atau tradisi saja yang intinya adalah khitbah itu sendiri, walaupun disertai dengan ritual-ritual seperti tukar cincin, selamatan dll. Ada satu hal penting yang perlu kita catat, anggapan masyarakat bahwa pertunangan itu adalah tanda pasti menuju pernikahan, hingga mereka mengira dengan melaksanakan ritual itu, mereka sudah menjadi mahram, adalah KELIRU..
Khitbah, meski bagaimanapun dilakukan berbagai upacara, hal itu  tak  lebih  hanya  untuk  menguatkan dan memantapkannya saja. Dan khitbah bagaimanapun keadaannya tidak akan  dapat memberikan hak apa-apa kepada si peminang melainkan hanya dapat menghalangi lelaki lain untuk meminangnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits: "…Tidak boleh salah seorang diantara kamu meminang pinangan saudaranya..."(Muttafaqun  'alaih)
Dari hadits diatas, maka jelas diketahui bahwa khitbah/pertunangan dikenal dalam Islam. Dan  mengenai satus hukumnya, mayoritas ulama' mengatakan bahwa tunangan hukumnya mubah. (Al Mausu'ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah,19/190).
Namun sebagian ulama' cenderung memandang bahwa tunangan itu hukumnya sunah, dalam mazhab syafi'i telah pasti diketahui bahwa tunangan dihukumi sebagai sebuah perkaramustahab (disukai). (Nihayatul Muhtaj,6/198).
Hal ini dengan alasan bahwa AKAD NIKAH adalah PERJANJIAN LUAR BIASA,,bukan seperti akad-akad yang lain, sehingga disunahkan didahului khitbah sebagai periode penyesuaian kedua mempelai dan masa persiapan untuk menuju mahligai rumah tangga.

Namun masa khitbah bukan lagi saat untuk memilih. Mengkhitbah sudah jadi komitmen untuk meneruskannya ke jenjang pernikahan. Jadi shalat istikharah sebaiknya dilakukan sebelum khitbah. Khitbah dilaksanakan saat keyakinan sudah bulat, masing-masing keluarga juga sudah saling mengenal dan dekat, sehingga peluang untuk dibatalkan akan sangat kecil, kecuali ada takdir Allah yang menghendaki lain.
ANDA sudah menempuh jalan khitbah? Apakah sudah diterima? Jika ya, maka ada kurun waktu bagi Anda untuk mempersiapkan diri menikahi perempuan yang telah Anda pinang. Menurut Muhammad Thalib (2002: 69), kurun waktu khitbah adalah rentang waktu antara diterimanya khithbah (akad khitbah) hingga dilangsungkannya pernikahan (akad nikah).
Itu berarti kurun waktu khitbah merupakan masa berbenah untuk mempersiapkan pernikahan. Mengingat, untuk melakukan proses penghalalan itu membutuhkan tenaga ekstra dan mengeluarkan biaya. Perlu ada waktu pula untuk calon suami istri untuk mengubah kepribadian diri menjadi lebih baik lagi.
Lantas, berapa lama kurun waktu dalam menempuh khitbah?
Tidak ada ketentuan khusus yang menerangkan berapa lama untuk melangsungkan pernikahan setelah adanya proses khitbah. Baik itu satu hari, satu minggu, satu bulan bahkan satu tahun pun, itu tidak masalah.
Hanya saja, Islam menganjurkan agar tidak menunda hal yang baik dalam jangka waktu yang lama. Sebab, kebaikan itu harus segera dilaksanakan, agar nilai ibadah itu akan dapat kita rasakan secepatnya. Selain itu, ketika waktu menunda cukup lama, maka akan semakin banyak godaan yang bisa saja membuat diri kita terjerumus pada lubang kesalahan.

Oleh sebab itu, Rasulullah ﷺ mengingatkan, “Bersegeralah beramal sebelum datang berbagai fitnah laksana potongan-potongan malam yang gelap. (Saat itu) di pagi harinya seseorang beriman tetapi di sore harinya ia menjadi kafir. Di sore hari seseorang beriman tapi di pagi harinya ia kafir. Ia menjual agamannya dengan harta dunia.” (HR. Muslim dan Abu Hurairah).
Jadi udah tau kan kenapa dulu saya minta pernikahan kita disegerakan.? Bukan karena udah "ngebet", sama sekali bukan karena itu. Tapi karena saya ingin menyegerakan sunnah Rosulku, menyegerakan kebaikan (insha Allah).

Wallahu a’lam bis Shawwab..
<dikutip dari berbagai sumber>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar